Berkumpul untuk Membaca Tahlil

Berkumpul untuk Membaca Tahlil

Perlu ditegaskan lebih dahulu bahwa tidak semua tindakan dimana Rasulullah SAW tidak melakukannya adalah dilarang. Pada kenyataannya ada banyak tindakan yang belum dikenal pada masa Rasulullah SAW namun kemudian dilakukan oleh para Sahabat dan Tabi’in, dan selanjutnya umat Islam menilainya sah. Misalnya adalah melaksanakn shalat Tarawih berjamaah selama sebulan penuh, mendirikan shalat Jumat lebih dari satu dalam satu daerah, menghimpun Al Qur’an dalam satu mushaf, adzan dua kali menjelang shalat Jum’at dan lain sebagainya. Semua itu adalah tindakan yang belum ada pada masa Rasulullah SAW tetapi menjadi dalil yang tidak bertentangann dengan prinsip dan ajaran Islam.

Adat kebiasaan yang terjadi di beberapa negeri, misalnya berkumpul di masjid, rumah dan tempat-tempat lain untuk membaca Al Qur’an bagi mayit dimana tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah boleh selama tidak terjadi kemaksiatan dan kemunkaran. Berkumpul sendiri bukanlah maksiat, apalagi jika untuk tujuan ibadah, misalnya membaca Al Qur’an dan sejenisnya. Tidak mengapa pula apabila bacaan Al Qu’an itu ditujukan bagi mayit. Praktek sejenis itu memiliki dasar, misalnya hadits:

اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ

“Bacakanlah Yasin pada orang-orang mati kalian.”

Hadits ini adalah Shahih. Tidak ada bedanya, membaca surat Yasin itu dilakukan oleh orang-orang di sisi orang mati maupun di atas kuburnya. Tidak berbeda pula, membaca seluruh A Qur’an maupun hanya sebagian, di masjid maupun di tempat lain.[1]

Para Sahabat sering berkumpul di rumah-rumah atau masjid-masjid dan Rasulullah SAW bersama dengan mereka. Di sana mereka menambangkan syair-syair, menuturkan cerita-cerita, makan-makan dan minum-minum. Jika ada yang berpandangan bahwa perkumpulan yang terhindar dari hal haram seperti ini adalah bid’ah maka dia salah sepenuhnya. Sebab bid’ah adalah hal baru dalam agama, sedangkan ini bukan sama sekali.[2]

Kesimpulan Asy Syaukani ini didukung banyak hadits. Diantaranya hadits yag diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudzriy yang mengatakan bahwa  Rasulullah SAW bersabda:

لا يقعد قوم يذكرون الله إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة وتنزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده [3]

“Tidak ada sekelompok orang yang duduk seraya berdikir pada Alah kecuali mereka dikelilingi oleh para malaikat, dipenuhi rahmat, mendapatkan ketenangan dan disebut-sebut oleh Allah di hadapan makhluk di sisi-Nya.”

Pernyataan imam Syafi’i bahwa beliau tidak menyukai perkumpulan kesedihan (Ma’tam) meskipun di sana tidak ada suara tangis karena tetap saja menimbulkan duka dan menambah beban,[4]  biasanya digunakan oleh kelompok yang menentang majis tahlil .Padahal Ma’tam yang dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah sekelompok orang  yang khusus berkumpul guna menangisi mayit, dimana hal itu jelas-jelas menambahkan kesedihan keluarga duka. Kebiasan seperti ini tidak disukai Imam Syafi’i karena merupakan tradisi jahiliyah membangkitkan kesedihan akibat kematian. Seakan-akan tidak ridla dengan takdir. Dan yang seperti itu berbeda sama sekali dengan majlis tahlilan dimana di dalamnya dibaca dzikir dan doa. Majlis seperti ini lebih tepat disebut dengan Majlis Dzikir.

Di sisi lain tahlilan telah menjadi suatu sarana untuk melipur keluarga duka dan sama sekali tidak menambah dalam kedukaan mereka. Buktinya adalah jika yang hadir dalam tahlilan semakin banyak maka keluarga menjadi semakin senang. Sebaliknya, jika yang hadir sedikit atau tidak ada sama sekali maka maka keluarga merasa sedih.


[1] Ar Rasa’il As Salafiyah, hal. 46

[2] Ar Rasa’il As Salafiyah, hal. 46

[3] Shahih Muslim, nomor 4868

[4] Al Umm, juz 1, hal. 318

Tinggalkan komentar